"Angklung"
1. Sejarah
Angklung
Sejak kapan angklung muncul masih belum bisa
diketahui secara pasti. Namun, ada angklung tertua yang usianya sudah mencapai
400 tahun. Angklung tersebut merupakan Angklung Gubrag yang dibuat di Jasinga,
Bogor, Jawa Barat. Di Serang, angklung jenis ini dianggap sebagai alat musik
sakral yang digunakan saat mengiringi mantera pengobatan orang sakit atau
menolak wabah penyakit.
Angklung
memang dikenal berasal dari Jawa Barat. Namun, di beberapa daerah di Indonesia
juga ditemukan alat musik tradisional tersebut. Di Bali, angklung digunakan
pada saat ritual Ngaben. Di Madura, angklung digunakan sebagai alat musik
pengiring arak-arakan. Sementara di Kalimantan Selatan angklung digunakan
sebagai pengiring pertunjukan Kuda Gepang. Sejarah mencatat bahwa di Kalimantan
Barat juga terdapat angklung, tapi menurut beberapa tokoh kebudayaan, angklung
tersebut tidak ada lagi.
Pada 1938,
Daeng Soetigna menciptakan angklung yang didasarkan pada suara diatonik. Selain
sebagai pengiring mantera, awalnya, angklung digunakan untuk upacara-upacara
tertentu, seperti upacara menanam padi. Namun, seiring dengan berkembangnya
alat musik ini, angklung digunakan dalam pertunjukan kesenian tradisional yang
sifatnya menghibur.
Pada masa
penjajahan Belanda, angklung menjadi alat musik yang membangkitkan semangat
nasionalisme penduduk pribumi. Karena itu, pemerintah Belanda melarang
permainan angklung, kecuali jika dimainkan oleh anak-anak dan pengemis karena
dianggap tidak memberikan pengaruh apa pun.
Setelah
mengalami pasang surut, Daeng Soetigna berhasil menaikkan derajat alat musik
angklung. Bahkan, angklung diakui oleh seorang musikus besar asal Australia
Igor Hmel Nitsky pada 1955. Angklung dengan suara diatonis yang diciptakan oleh
Daeng membuat angklung turut diakui pemerintah sebagai alat pendidikan musik.
Sepeninggal
Daeng Soetigna, angklung dikembangkan lagi berdasarkan suara musik Sunda, yaitu
salendro, pelog, dan madenda. Orang berjasa yang mengembangkannya adalah Udjo
Ngalagena. Udjo yang merupakan salah seorang murid Daeng Soetigna ini
mengembangkan alat musik angklung pada 1966.
Sebagai
wujud mempertahankan kesenian angklung, Udjo atau biasa dikenal Mang Udjo
membangun pusat pembuatan dan pengembangan angklung. Tempat tersebut diberi
nama “Saung Angklung Mang Udjo”. Lokasinya berada di Padasuka, Cicaheum,
Bandung. Di tempat ini, seringkali diadakan pertunjukan kesenian angklung.
Pengunjung yang hadir dapat ikut serta mencoba belajar memainkan alat musik
tersebut.
2. Pengertian Angklung
Angklung adalah sebutan bagi alat musik yang
terbuat dari bambu. Ada yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari dua kata
bahasa Bali yaitu angka (artinya nada) dan lung (artinya patah/putus), karena
memang alat ini berbunyi dengan suara terputus-putus karena digetarkan.
Sementara itu di Sunda, istilah ini dianggap berasal dari kata
angkleung-angkleungan (artinya gerakan bergoyang) dan klung (bunyi bambu
dipukul).
Angklung adalah alat musik multitonal (bernada
ganda) yang secara tradisional berkembang dalam masyarakat berbahasa Sunda di
Pulau Jawabagian barat. Alat musik ini dibuat dari bambu, dibunyikan dengan
cara digoyangkan (bunyi disebabkan oleh benturan badan pipa bambu) sehingga
menghasilkan bunyi yang bergetar dalam susunan nada 2, 3, sampai 4 nada dalam
setiap ukuran, baik besar maupun kecil.
Dictionary of the Sunda Language karya Jonathan
Rigg, yang diterbitkan pada tahun 1862 di Batavia, menuliskan bahwa angklung
adalah alat musik yang terbuat dari pipa-pipa bambu, yang dipotong
ujung-ujungnya, menyerupai pipa-pipa dalam suatu organ, dan diikat bersama
dalam suatu bingkai, digetarkan untuk menghasilkan bunyi. Angklung terdaftar
sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO
sejak November 2010.
3. Jenis-jenis Angklung dan Penjelasannya
Alat musik
angklung memiliki banyak jenisnya. Jenis-jenis angklung dapat di bagi menjadi 9
macam angklung yaitu :
a. Angklung
Kanekes
b. Angklung
Dogdog Lojor
1. Proses
Pemilihan Bahan Bambu yang baik
Bambu adalah
bahan baku dari Angklung. Dipilih berdasarkan usia yaitu minimal 4 tahun dan
tidak lebih dari 6 tahun dan dipotong pada musim kemarau dari pukul 9 pagi
sampai pukul 3 sore hari. Setelah memotong dasar dari pohon bambu, dengan
ukuran kurang lebih 2-3 jengkaldari permukaan tanah, bambu harus disimpan
selama sekitar 1 minggu, sehingga bambu benar2 tidak berisi air.
Setelah
seminggu, bambu harus dipisahkan dari cabang-cabangnya. Dan dipotong menjadi
berbagai ukuran tertentu. Kemudian, bambu harus disimpan selama sekitar satu
tahun untuk mencegah dari gangguan hama. Beberapa prosedur adalah: dengan cara
merendam bambu di genangan lumpur, kolam atau sungai, juga bisa dengan cara
diasapi di perapian (diunun), dan prosedur modern: dengan menggunakan formula
cairan kimia tertentu.
2. Bagian
Bahan Bambu yang digunakan untuk membuat Angklung
Angklung
terdiri dari 3 bagian:
Tabung Suara
Bagian
terpenting dari suatu Angklung, adalah tabung suara yang menghasilkan intonasi.
Proses setem dapat menghasilkan intonasi.
Kerangka
Kerangka
tabung untuk tempat berdiri di.
Dasar
Berfungsi
sebagai kerangka tabung suara.
3. Proses
Penyeteman
Pembentukan
tabung suara
Ini adalah
proses membentuk bambu menjadi sebilah tabung suara.
Proses
Penyeteman
Ini adalah
proses meniup bagian bawah tabung angklung dan menyamakan suaranya ke alat
tuner.
Proses utama
dari penyeteman
Ini adalah
proses penyeteman suara dengan meninggikan dan menurunkan nada dengan
membunyikan nadanya. Dan ini juga merupakan proses meninggikan nada dengan
memotong bagian atasnya sedikit, dan menurunkan nada dengan menyerut kedua sisi
bilah tabung dengan pisau.
Cara menggunakan alat Tuner:
Untuk
menggunakan tuner, kita harus memperhatikan baik dari lampu di sebelah kiri dan
kanan dari panel, dan juga jarum penunjuk.
Sebagai
contoh, jika Anda akan membuat sebuah nada “F”, anda harus menggoyangkan
angklung sembari memperhatikan baik dari lampu yang akan menyala bersamaan, dan
untuk jarum penunjuk yang akan menunjukkan angka “F”.
4. Tahap
Akhir
Setelah
masing-masing tabung suara memiliki nada, tabung harus diletakkan ke dalam
rangka dan diikat dengan tali rotan.
5.
Pemeliharaan
Menala /
Men-stem Angklung
Apabila
suara Angklung menjadi lebih tinggi, hendaknya daun Angklung (sisi A) diraut
dengan pisau raut sedikit demi sedikit hingga mencapai suara yang dikehendaki.
Apabila
suara Angklung menjadi lebih rendah, hendaknya ujung Angklung (sisi B) dipotong
sedikit demi sedikit sehingga suaranya menjadi normal kembali.
Penyimpanan dan Pemeliharaan Angklung
Untuk
dimaklumi bahwa Angklung terbuat dari bahan bambu, konstruksi atau kekuatannya
tidak seperti bahan logam, sehingga perlu pemeliharaan dan penyimpanan yang
baik. Angklung yang baik terbuat dari bahan bambu yang telah melewati proses
quality control yang baik. Lama penyimpanan bambu sebelum diproses menjadi
Angklung sedikitnya harus berumur satu tahun. Proses pengeringan bambu ini
berfungsi agar Angklung yang dibuat menghasilkan suaranya tepat/nyaring dan
tidak mudah terkena hama rayap. Usia Angklung apabila perawatannya baik dapat
mencapai 10 tahun.
Berikut
adalah langkah- langkah yang dapat dilakukan untuk memelihara instrument
Angklung:
· Begitu
Angklung tiba di tempat yang baru, segeralah buka dan gantungkan pada tiang
standard yang telah disediakan. Penyimpanan dalam kardus/tempat tertutup lebih
dari 7 hari dapat mengakibatkan perubahan suara dan penjamuran pada bambu.
· Penyimpanan
Angklung sebaiknya dengan cara digantung, tidak ditumpuk.
· Penyimpanan
Angklung haruslah di tempat kering dan tidak lembab dengan temperatur berkisar
25 – 33 C.
Jangan simpan Angklung di tempat terbuka yang mendapatkan sinar matahari/hujan
secara langsung.
· Untuk
memelihara Angklung dari penjamuran dan rayap, gunakan obat anti rayap dan
jamur produksi SAU secara teratur 2 minggu sekali dengan proses penyemprotan.
· Untuk
menjaga kualitas suara lakukanlah penalaan/re-tuning Angklung secara berkala.
· Bagi
Angklung yang disimpan di daerah panas dengan suhu temperatur >30 C
terkadang menyebabkan sedikit retak pada pangkal tabung. Hal ini tidak
mengganggu suara, dan penanganannya cukup diberikan lem kayu. (sumber: angklung
ujo)